Satu dua tiga jam berlalu. Raut wajahnya masih nampak menawan. Ia gulung charger laptop sebagai pertanda berakhir sesi presentasi. Setiap gerak nyaris sempurna tak kurang apapun. Menawan dan sempurna. Kemampuan publik speaking yang ia miliki menjadi kunci daya tarik.
"Ah sial apalah aku yang tak kuasa. Bahkan untuk sekedar menahan rasa aku tak berkuasa. Apalagi mengungkapkan rasa." Gumam Andi dalam kemelut batin.
Ia tak mampu menahan rasa sekaligus tak mampu mengungkapkan rasa. Sebuah situasi yang sangat pelik. Bukan kehendaknya rasa itu datang. Bukan kemauannya rasa itu tiba. Melainkan sebuah anugerah yang datang begitu saja (kata pujangga) atau sebuah luka yang sudah dirasa meski takdir belum bergaris.
satu dua tiga detak jantung beradu dengan detak akal yang tak selaras. Jantungnya seakan malaikat penyampai pesan dari rasa. Akalnya seakan manusia yang selalu penuh pertimbangan. Rasa itu sungguh menyiksa.
Kebobrokan dan kepayahan hidup yang dimiliki Andi membuat nyalinya ciut. Sekedar memimpikan, memiliki secuil hati saja tak berani. Sebuah semboyan sakti "Jika tak mencari bagaimana engkau tahu" nyatanya hanya sebatas teori. Dihadapan realita ia polos tanpa senjata.
Detik demi detik mengejek dalam setiap kedip mata. Sebuah nama yang begitu agung. Menghiasi setiap jeda kehidupan. Ingin sekali Andi berontak melawan segala belenggung rasa. Menumpahkan, meluapkan semua isi yang ia pendam. Lagi-lagi akal berbisik bahwa timing belum tepat.
Adakala dalam hidup engkau harus menunda segala ingin dan harap. Adakala dalam hidup engkau harus menyerah terhadap waktu. Meski waktu berlari tak secepat cahaya tetap saja engkau tak sanggup mengimbangi. Pada akhirnya engkau harus menunda sekian detik atau bahkan tak terukur segala ingin dan harap.
Sebuah keadaan dimana engkau dihadapkan akan sebuah pilihan. Dimana mengungkapkan rasa adalah pilihan kesekian. Sedangkan memperbaiki segala kebobrokan dan kepayahan hidup adalah rutinitas sehari-hari yang tak bisa ditolak.