Secangkir kopi panas berubah menjadi dingin. Di samping
laptop belum juga disentuh. Screen
laptop melamun tanpa perintah. Seekor semut melintas dengan tenang di atas keyboard. Kipas angin di atas jendela
tepat di depan meja belajar berderu pelan. Sadam duduk melamun dengan pikiran
kosong. Menatap jendela dengan view
kota Hongkong penuh gemerlap. Bunyi ambulan lewat, bunyi sirine mobil patroli
polisi luput dari daun telinga. Kembang api di sudut kanan kiri kota terlewat
dari tangkapan lensa mata. Kedua tangan menyatu di atas meja, tubuh Sadam
berada di Hongkong tapi pikiran berkelana di kampung halaman, Bantul.
Di atas kasur tepat di belakang Sadam duduk, layar gawai
berkali-kali menyala. Tanpa suara dengan mode silent hanya menampilkan segaris cahaya. Cahaya dari kampung
halamannya yang sudah berubah menjadi sinyal digital berjalan puluhan kilometer
hingga sampai di Hongkong. Seekor semut kembali lewat di atas keyboard dengan screen yang masih melamun tanpa perintah. Sadam masih termangu. Ia
baru saja sampai di rumah sewa tempat tinggalnya di Hongkong. Ia baru saja
kembali dari Bandara Hongkong International Airport. Ia letakan koper bersama
dompet dan tiket pesawat Hongkong-Jakarta di samping kasur. Ia urungkan niat
untuk terbang ke tanah air.
***
Sementara di seberang benua. Berpuluh kilometer jauhnya.
Sely mematikan gawainya. Memasukannya ke dalam tas. Berkali-kali ia menghubungi
seseorang tapi tidak bisa meski sempat pesan SMS nya terkirim.
"Say, gimana menurutmu?" mas Bambang bertanya kepada Sely sembari melihat beberapa crew wedding organizer yang sedang menyiapkan tempat pernikahan.
"Hei say, gimana menurutmu?" mas Bambang mengulangi pertanyaannya. Melihat sely masih melamun.
"Oh iya mas bentar." Sely terbangun dari lamunannya dan segera memasukan gawainya ke dalam tas.
"Lumayan deh mas. Bagus." Sely ikut melihat dekorasi tempat pengantin dan berusaha menanggapi mas Bambang.
"Kamu kenapa Sely? kok kaya kurang semangat gitu." mas Bambang kembali bertanya. Kali ini dengan menyebut namanya tidak menggunakan panggilan sayangnya.
"hei sel? hei?" mas Bambang menyadari nampaknya pikiran Sely berada ditempat lain.
"Oh iya mas maaf." Sely berusaha menutupi kegelisahannya dihadapan mas Bambang.
"Aku kurang enak badan mas. Maaf ya mas. Akhir-akhir ini aku susah tidur." Lanjut Sely.
"Oh begitu. Wajar Say. Setiap orang pasti bercampur aduk setiap kali mendekati hari pernikahannya. Sudah, yang penting setelah ini kamu istirahat biar besok pagi kamu tampil segar. Besok kan hari pernikahan kita." mas Bambang berusaha menenangkan Sely.
"Sely tersenyum manis."
"Sudah yuk! Saya antar kamu ke rumah dan segeralah istirahat." Ajak mas Bambang sembari menggandeng Sely.
"Iya mas." Sely kembali tersenyum manis.
Kaki mereka melangkah keluar gedung balai desa tempat digelarnya pernikahan esok hari. Pak Pardi penjaga gedung balai desa duduk di depan pintu mengucapkan selamat malam dan tersenyum kepada mas Bambang dan Sely. Senyum dan salam balasan keluar dari mas Bambang dan Sely. Mereka segera menuju ke mobil yang diparkir tepat berada di depan gedung balai desa.
Mas Bambang membukakan pintu mobil untuk Sely. Menyalakan
mesin mobil. Menutup semua kaca mobil. Memacu mobil dan perlahan meninggalkan
gedung balai desa. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Mas Bambang
bertanya kepada Sely apakah langsung pulang atau mau makan dulu. Sely dengan
rasa terimakasih meminta untuk diantar pulang saja.
Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Sely
dengan pikiran entah kemana. Menatap kaca mobil keluar dan sesekali memejamkan
mata seolah kecapekan. Mas Bambang fokus dengan kemudinya dan berpikir Sely
sudah kecapekan dan berharap segera sampai rumah dan istirahat.
Tepat pukul 21.15 wib mereka sampai di rumah Sely. Mas
Bambang membukakan pintu mobil untuk Sely.
"Makasih ya mas." Ucap Sely dengan senyum manis.
"Iya Say, kamu segera tidur, istirahat dan sampai jumpa esok hari. Jangan lupa berias yang cantik." Ucap mas Bambang dengan diakhiri kecupan di kening Sely.
"Iya mas. Aku akan segera istirahat. Selamat malam mas." Sely tak lupa melemparkan senyum manis dan segera menuju ke dalam rumahnya.
Tepat sesaat di depan pintu Sely memalingkan badannya ke belakang. Ia melambaikan tangan dan senyuman kepada mas Bambang. Mas Bambang membalas lambaian tangan Sely dan segera masuk ke dalam mobil. Memacu mobil meninggalkan rumah Sely.
Sely masuk ke dalam rumah dan tak lupa mengunci pintunya.
Sely langsung menuju ke kamarnya. Pak Dakir dan Bu Jumanah orangtua Sely sudah
tertidur di kamar. Maklum sudah larut malam dan esok pagi mereka harus bangun
pagi-pagi untuk menikahkan anaknya. Sely meletakan tasnya di atas kasur. Ia
lepas sepatunya dan meletakan di atas rak depan kamarnya. Ia segara menuju ke
kamar mandi untuk cuci kaki dan membersihkan muka. Sebuah rutinitas yang
dilakukan Sely setiap malam sebelum tidur.
***
Sadam jauh di Hongkong, merebahkan badannya di atas
kasur. Masih dengan jaket dan syal yang belum terlepas. Sepatu dan celana
panjang jeans juga masih ia kenakan. Gawai di atas kasur tepat di bawah kaki
Sadam juga belum ia sentuh semenjak ia letakan di atas kasur sehabis dari
bandara. Kipas angin di atas jendela masih berderu pelan. Jendela kaca masih
terbuka. Laptop masih menyala menampilkan wallpaper
tanpa perintah. Secangkir kopi panas
juga belum tersentuh hingga sudah sangat dingin akibat suhu malam kota
Hongkong. Segerombolan semut kali ini melintas di atas keyboard rupanya menuju ke secangkir kopi manis untuk
menyedunya. Cangkir kopi kali ini dipenuhi dengan gerombolan semut.
Sadam terlentang menerawang angkasa. Pandangannya
terhalang oleh atap rumah sewa namun pikiran jauh berkelana. Menembus angkasa
terbang puluhan kilometer dan mendarat di kampung halamannya. Ia tahu esok hari
Sely akan menikah.
Sejak ia menerima kabar pesan singkat dari Sely saat ia
berada di antrian boarding pass
Bandara Hongkong International Airport, ia kaget bukan kepalang. Hatinya
berguguran runtuh. Lututnya seketika terasa lunglai. Tepat saat ia dipanggil
petugas boarding pass, ia mantap
mengurungkan niatnya untuk pulang ke tanah air. Tiket yang ia beli dari
mengumpulkan gajinya bekerja sebagai TKI tak ia hiraukan. Pikirannya
berkecamuk. Ia segera masuk ke taxi bandara dan segera meminta sopir untuk
mengantarkan ke rumah sewa tempat ia tinggal.
Sore itu hari semakin gelap sepanjang perjalanan Sadam
hanya melamun. Pikirannya melayang. Hatinya hancur lebur. Beberapa kali pak
sopir taxi mengajak bicara Sadam. Namun ternyata Sadam tak mendengar. Sadam tak
habis pikir dengan keputusan yang diambil Sely. Empat tahun yang lalu semenjak
mereka lulus SMA mereka sudah berjanji akan saling menanti. Masih teringat
jelas di benak Sadam ketika Sely mengantarkan di Bandara Adisucipto ketika
hendak berangkat kerja di Hongkong.
***
Pagi itu tepat pukul 09.00 wib Sadam bersama kedua
orangtuanya Pak Harjo dan Bu Zainab duduk di ruang tunggu Bandara Adisucipto
menunggu pesawat yang akan membawa Sadam ke Hongkong. Saat itu 5 bulan setelah
Sadam lulus SMA, Sadam memutuskan untuk bekerja di Hongkong. Sementara Sely
memilih kuliah. Kisah asmara mereka yang sudah terjalin semenjak SMA harus
terpaksa dipisahkan jarak Indonesia-Hongkong.
Pukul 9.15 wib Sely terhuyung-huyung datang ke bandara
menyusul Sadam. Begitu keluar dari taxi Sely langsung berlari menuju ke ruang
tunggu berharap masih sempat bertemu dengan Sadam. Ia menyusuri tempat tunggu
bandara. Ia mencoba menghubungi Sadam. Akhirnya mereka dapat berjumpa. 30 menit
lagi pesawat Sadam harus take-off.
“Bu, Pak.” Sely menyapa orangtua Sadam sambil berjabat tangan.
“Iya nak. Silahkan.” Pak Harjo tersenyum sambil mempersilahkan Sely ngobrol dengan Sadam. Sementara Bu Zainab hanya tersenyum.
“Dam...” Sely menghentikan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca. Ia menundukan kepala tak kuat memandang Sadam.
“Hati-hati ya di Hongkong” Kali ini ia sekuat tenaga memandang mata Sadam. Air matanya tak tertahan lagi. Jatuh dipelukan Sadam.
“Iya Sel, aku pasti jaga diri baik-baik.” Sadam masih memeluk Sely. Berbisik di telinga Sely. Dengan suara parau ia mencoba kuat.
“Begitu juga dengan kamu ya. Baik-baik di Indonesia.” Sadam melanjutkan kalimatnya. Kali ini mereka saling bertatapan. Sadam berkaca-kaca.
“Dam...” Sely kembali berkata dengan sedikit lebih tegar.
“Aku akan selalu menunggumu, Dam. Sampai kapanpun” Lanjut Sely dengan senyum penuh harap.
“Iya Sel, Aku akan datang untukmu. Tepat pada waktunya.” Sadam menatap Sely penuh dengan kasih.
“Kita akan hidup bersama.” Sadam menutup obrolan dengan ciuman dikening Sely.
Jam tangan Sadam menunjukan pukul 09.35 wib. Ia harus segera masuk. 10 menit lagi pesawatnya ke Hongkong tiba. Ia mencium kedua tangan orangtuanya dan segera masuk ke ruang boarding pass. Dari kejauhan Sely belum berpaling. Mengamati langkah kaki Sadam yang perlahan menghilang terhalang dinding.
Pak Harjo dan Bu Zainab meninggalkan bandara dengan
menaiki taxi menuju ke rumah di Bantul. Sementara Sely masih termangu duduk di
ruang bandara. Ia masih ingin memastikan pesawat Sadam take-off. Tepat pukul 09.45 wib pesawat Sadam berhasil take-off. Sely berdoa dalam hati sambil
memegang fotonya bersama Sadam sewaktu dikelas dahulu.
“Ya Allah Aku serahkan semua kepadamu. Jaga hati kami. Hilangkanlah gelisah
diantara kami. Kuatkanlah kami. Persatukanlah kami suatu hari nanti.” Sely mengusap air matanya yang kembali menetes. Memasukan
foto mereka ke dalam diarynya dan segera beranjak meninggalkan bandara.
***
“You have arrived Sir.” Pak
sopir membangunkan Sadam dari lamunan. Taxi berhenti di depan rumah sewa Marlboro
Hostel. Terletak di Paterson Street, Paterson Building, Causeway Bay.
“Thank you very much Sir.” Sadam
mengulurkan uang ongkos taxi. Keluar membuka pintu taxi.
“Your welcome.” Pak sopir
membunyikan klakson taxi dan segera memacu meninggalkan Sadam berdiri di depan
Marlboro Hostel.
Sadam memperhatikan sejenak laju taxi dan beralih melihat
sekeliling jalanan. Ia lalu masuk ke dalam hostel. Ia menuju ke kamar paling
pojok lantai 2 Marlboro Hostel. Ia letakan Koper di samping kasur. Ia menuju
dapur membuat secangkir kopi panas. Kembali masuk ke dalam kamar. Meletakan
kopi panas di samping laptop dan menyalakan laptop lalu melamun.
Jam dinding tergantung tepat di depan kasur menunjukan
pukul 23.00 waktu Hongkong sementara di Indonesia pukul 22.00 wib. Sudah 45
menit Sadam terdiam melamun di atas mejanya mengahadap jendela. Ia lalu pindah
berbaring di atas kasur. Menerawang langit dengan pikiran melayang-layang tak
karuan. Hatinya hancur lebur. Harapannya pupus sudah untuk menikah dengan
kekasihnya, Sely. Badannya lemas tanpa gairah. Seolah sangat lelah. Ingin ia
tidur tapi tak bisa tidur. Berkali-kali ia pindah bolak balik kasur dan
laptopnya. Namun ia tak melakukan apa-apa. Ia mondar-mandir.
Jam dindingnya sudah menunjukan 01.00 waktu Hongkong. Ia
tak juga kunjung tidur. Sudah hampir 2 jam lebih ia mondar-mandir. Ia
memutuskan keluar mencari angin malam. Di kamar terasa sangat suntuk. Ia
memutuskan untuk pergi ke kedai kopi Sensei. Kedai kopi milik seorang lelaki Hongkong
yang ia kenal setahun setelah ia tinggal di Hongkong dan bekerja di percetakan
surat kabar setempat. Mereka ketemu di Victoria Park. Saat itu Sensei sedang
membuka kedai kopi saat terdapat pertunjukan musik. Sementara Sadam menjadi
pelanggannya saat liburan di Victoria Park.
Sensei seorang lelaki Hongkong yang berperawakan kecil
dengan muka murah senyum dan sangat ramah. Ia mudah bergaul dengan
pelanggannya. Tak jarang banyak pelanggannya menjadi temannya sendiri. Kedai
kopi Sensei dengan nama “Naughty Coffe”
terletak di samping Marlboro Hostel tepatnya 3 gedung setelahnya.
Sadam keluar Hostel. Melangkahkan kakinya menuju ke kedai
“Naughty Caffe” milik Sensei.
“Hello guy! Why you still here? Today is your schedule flight to go
to Indonesia right?” Sapa Sensei menyambut kedatangan Sadam. Ia sedang
membuat kopi dan sekaligus terkaget kenapa Sadam masih di Hongkong. Bukankah
tadi sore Sadam sudah pamit untuk pulang ke Indonesia.
“No. I cancel my flight.”
Sadam duduk di meja kedai tepat di depan Sensei. Menyalakan rokok dan
menyembulkan asap rokok ke udara setelah ia selesai berbicara. Pandangan lalu
melihat sekeliling kedai yang nampak riuh dengan pengunjung. Maklum akhir pekan
malam minggu tepatnya. Tak beda jauh dengan di Indonesia. Setiap malam minggu
pasti tempat umum di Hongkong penuh. Entah sepasang kekasih atau orang-orang
yang rehat dari penatnya rutinitas di Hongkong.
“What happen guy? Everything is okay right?” Sensei gabung duduk di meja dan menghidangkan kopi susu
panas langganan Sadam.
Sadam masih terdiam. Pandangannya masih melihat
sekeliling dan berkaling-kali ia menyembulkan asap rokok ke udara. Sensei lalu
kembali ke bar karena ada pelanggan baru yang order.
“Iam getting depression. I dont know.” Sadam menerawang ke atas dan menyembulkan asap rokoknya
lalu melihat ke arah Sensei.
Sensei masih sibuk dengan pelanggannya. Semakin malam
semakin banyak pelanggan untuk bergadang di kedainya.
“What happen guy? Tell me please. I will hear you.” Di sela-sela melayani pelanggan Sensei berbicara kepada
Sadam.
Sadam kembali terdiam. Ia membuka Syal di leher. Rambut
gondrongnya kini terlihat jelas. Menyita perhatian beberapa pengunjung. Di Hongkong
lelaki berambut gondrong sangat jarang. Sekilas Sadam bak Curt Cobain dengan
kearifan lokal. Ia membuang puntung rokongnya. Menyeruput secangkir kopi di
depannya. Mengambil sebatang rokok dari bungkus. Menyalakan rokok untuk kedua
kalinya. Menyembulkan asap rokok kesekian kali ke udara.
“Tommorow my girlfriend will married.” Sadam tertunduk.
“What? Not with you?”
Sensei bertanya dengan kaget dan serius namun hanya sesaat dan kembali tertawa
pongah.
“So, is it your reason cancelling the flight?” Lanjut Sensei dengan sedikit meledek.
Sadam hanya terdiam menikmati secangkir kopi dan kembali
menyembulkan asap rokok berkali-kali.
***
Sely keluar dari kamar mandi. Ia matikan lampu utama
kamarnya. Menggantinya dengan lampu tidur. Ia rebahkan badannya di kasur. Ia
tarik selimutnya menyelimuti seluruh tubuhnya. Jam dinding di depan kasur
menunjukan pukul 22.00 wib. Ia belum juga tertidur. Mata berkerlap-kerlip.
Menerawang ke atas. Pikirannya tepat mengingat Sadam. Ia merasa bersalah akan
keputusannya mengirim pesan singkat kepada Sadam sore hari tadi. Ia merasa
bersalah kenapa baru sehari menjelang pernikahan ia memberitahu Sadam. Padahal
sudah 2 bulan yang lalu rencana pernikahannya dengan mas Bambang direncanakan.
Ia merasa bersalah kenapa baru tadi sore ia memberi kabar sementara esok hari
adalah pernikahannya.
Ia juga ragu menikah dengan mas Bambang. Sebenarnya ia
masih sangat menunggu Sadam. Itulah alasannya ia tidak pernah bercerita kepada
Sadam tentang mas Bambang. Itu semua karena desakan orangtuanya, Pak Dakir dan
Bu Jumanah. Hal itu bermula sejak mas Bambang anak pak Lurah datang ke rumah.
Menyatakan ingin memperistri Sely. Sely sangat kaget saat itu. Ia tak
menyangka. Ia kurang begitu dekat dengan mas Bambang. Ia pun hanya berjumpa
ketika perkumpulan karang taruna di kampung. Sely tak terlalu berpikir pusing
saat itu. Toh kabar lamaran itu juga hanya ia dengar dari orang tuanya. Karena
saat itu Sely jarang di rumah. Ia sibuk dengan perkuliahannya di salah satu
kampus swasta di Jogja.
Sejak kedatangan mas Bambang ke rumahnya, Bu Jumanah
sering bertanya kepada Sely dan membujuknya. Bu Jumanah memang sangat terpesona
dengan mas Bambang. Ia pikir sangat cocok dengan Sely. Maklum mas Bambang
seorang anggota Kepolisian. Masih muda dan terkenal baik di kampung halamannya.
Apalagi berasal dari keluarga terpandang seorangg Lurah. Bu Jumanah tentu
berubah subyektif mendukung mas Bambang.
Berbeda halnya dengan Pak Dakir. Ia bersikap netral. Entah
mau menikah dengan Sadam anak Pak Basuki pejual toko kelontong di kelurahan
sebelah. Teman SMA Sely atau mas Bambang anak Pak lurah seorang polisi. Hal itu
diserahkan sepenuhnya kepada Sely. Menurut Pak Dakir baik Sadam maupun mas
Bambang merupakan anak yang baik.
“Piye nduk? Mas Bambang iku gek ndang dijawab nduk.” Suatu sore Bu Jumanah bertanya kepada Sely sepulang dari
kampus sambil membantu melepas jilbab
Sely.
“Bu Sely kan sampun
janji kalih Sadam.” Sely nampak heran terhadap ibunya yang terus saja
mendesaknya agar mau menikah dengan mas Bambang.
“Nduk koe karo Sadam kan rak yo gur pacaran to nduk? Dilamar we urung. Yo
kan gak masalah nek koe milih prio sek teko nglamar koe. Tur yo mas Bambang iku
cah apek tenan nduk.” Bu
Jumanah terus membujuk Sely agar menerima lamaran mas Bambang dua minggu lalu.
Bu Jumanah mengelus rambut Sely yang terurai.
“Bu yo mboten saget ngoten bu. Sely niku sampun yakin kalih Sadam. Sely
sampun kenal Sadam dangu bu. Sely sampun janji bakal nunggu Sadam bu.” Sely bersikeras menolak bujukan ibunya.
“Oalah nduk wong yo durung dadi apa-apamu kok yo wes janji-janji nduk.
Janji iku pantese kanggo wong sek wes dadi bojomu, garwomu nduk.” Bu Jumanah melanjutan bujukannya kepada Sely.
“Sely hanya terdiam. Ia tak memperhatikan ibunya.”
“Yowes nduk ngono wae. Dipikir meneh yo nduk sek tenanan. Mas Bambang iku
tenanan nduk. Ora guyon. Tur yo bocahe apek. Keluargane terpandang nduk ning
kampung kene.” Bu Jumanah
tersenyum kepada anaknya lalu keluar kamar dan menutup kamar Sely.
Sementara Sely tetap terdiam. Malas menjawab bujukan
ibunya yang hampir setiap hari dilakukan. Ia tak menghiraukannya.
Lambat laun nampaknya Bu Jumanah diam-diam menyetujui
lamaran mas Bambang diluar kemauan Sely. Sementara Sely berada dalam kondisi
tak bisa lagi menolaknya. Ia mau tidak mau ikut kemauan ibunya. Sementara
ayahnya nampak nurut dengan ibunya.
Dua bulan semenjak Sely wisuda kelulusannya,
pernikahannya dengan mas Bambang akan digelar. Selama itu pula ia masih sering
berhubungan dengan Sadam. Bertanya kabar dan saling berbagi cerita sama seperti
sediakala. Sely tidak pernah bercerita akan lamaran mas Bambang. Ia selalu
nampak semua baik-baik saja setiap kali berkirim pesan dengan Sadam. Sely
memang pandai menyembunyikan masalah. Sely cenderung orang yang sulit
bercerita.
Sely tahu Sadam pernah memberitahunya bahwa setelah
wisuda kelulusan Sely, ia akan pulang ke Indonesia. Namun Sadam tidak pernah
memberitahu waktu pasti. Sadam sengaja tidak memberitahu. Ia memang suka
memberi kejutan tiba-tiba.
Sore itu Sadam sudah berada di Bandara Hongkong
Internasional Airport untuk terbang ke Indonesia. Sementara Sely tidak
mengetahuinya. Sementara Sely tidak bisa berbuat banyak lagi. Ia belum
memberitahu Sadam akan mas Bambang. Sementara esok hari adalah hari pernikahannya.
Mau tidak mau harus memberitahu Sadam. Pada awalnya ia berusaha menelepon Sadam
namun tidak terangkat. Ahirnya ia hanya mengirimkan pesan singkat. Ia juga
berusaha menelepon lagi. Namun tak terangkat juga.
***
Malam menjelang pernikahannya dengan mas Bambang Sely
tidak bisa tidur. Ia bingung harus berbuat apa. Ia sebenarnya masih ingin
menunggu Sadam. Ia menunggu tak ada balasan pesan dari Sadam. Ia bingung
sepanjang malam. Hingga akhirnya ia baru tertidur menjelang jam 2 pagi.